Jum'at, 30-Desember-2005
Penulis: Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani Rahimahullah
Mengapa kita memakai nama Salafy ? apakah penamaan itu
bukan termasuk ajakan kepada hizbiyah atau thaifiyah (seruan untuk berfanatik
kepada kelompok tertentu) ataukah merupakan kelompok baru dalam Islam?
Sesungguhnya istilah Salaf sudah dikenal dalam bahasa Arab maupun dalam syariat
Islam. Namun yang kita utamakan disini adalah pembahasan nama tersebut dari segi
syariat.
Mengapa kita memakai nama Salafy ? apakah penamaan itu bukan
termasuk ajakan kepada hizbiyah atau thaifiyah (seruan untuk berfanatik kepada
kelompok tertentu) ataukah merupakan kelompok baru dalam Islam? Sesungguhnya
istilah Salaf sudah dikenal dalam bahasa Arab maupun dalam syariat Islam. Namun
yang kita utamakan disini adalah pembahasan nama tersebut dari segi
syariat.
Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah
sallallahu 'alaihi wa sallam ditimpa penyakit yang menyebabkan kematiannya,
beliau berkata kepada Fathimah Radhiallahu anha: "Bertakwalah kepada Allah
(wahai Fathimah) dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu)
bagimu."
Dan para ulama pun sangat sering menggunakan istilah salaf
sehingga terlalu banyak untuk dihitung. Dan cukuplah salah satu contoh yang
biasa mereka gunakan sebagai hujjah untuk memerangi bid'ah: 'Segala kebaikan
adalah dengan mengikuti jejak Salaf. Dan segala kejelekan ada pada bid'ahnya
kaum khalaf '. Tetapi ada sebagian orang yang mengaku ulama (ahlul ilmi) menolak
penisbatan (penyandaran) diri kepada salafi ini. Mereka menganggap penisbatan ini tidak ada
asalnya sama sekali! Menurut mereka, seorang muslim tidak boleh mengucapkan :
"Saya pengikut para Salafus Shalih dalam segala apa yang ada pada mereka baik
dalam beraqidah, ibadah maupun berakhlak."
Tidak diragukan lagi bahwa
pengingkaran seperti ini, kalau memang demikian yang mereka maksudkan,
menunjukkan adanya tindakan untuk melepaskan diri dari pemahaman Islam yang
shahih (benar) sebagaimana yang dipahami dan dijalani oleh salafus shalih dan
pemimpin mereka Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam.
Seperti tersebut
dalam hadits mutawatir yang terdapat dalam shahihain (Bukhari-Muslim) dan
lain-lain bahwa Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sebaik-baik
manusia adalah generasiku (para Shahabatku), kemudian yang sesudahnya (Tabi'in),
kemudian yang sesudahnya (Tabi'ut Tabi'in)".
Oleh karena itu, seorang
muslim tidak boleh melepaskan diri dari penisbatan kepada Salafus Shalih. Sebab
tidak mungkin para ulama akan menisbatkan istilah salaf kepada kekafiran maupun
kefasikan. Sementara orang-orang yang menolak penamaan itu sendiri, apakah
mereka tidak menisbatkan dirinya kepada salah satu madzhab yang ada? Baik
madzhab yang berhubungan dengan aqidah maupun fiqih? Mereka ini kadang-kadang
ada yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy'ariyah atau
Maturudiyah.
Ada pula yang menisbatkan dirinya kepada para ahlul hadits
seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, atau Hambaliyah yang (kelima madzhab
yang terakhir ini) masih termasuk dalam lingkup Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Padahal orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy'ariyah atau
madzhab imam yang empat (al-Aimmah al-Arba'ah) tidak diragukan lagi bahwa mereka
itu menisbatkan diri kepada person atau orang-orang yang tidak ma'shum
(terpelihara dari kesalahan), meskipun diantara mereka terdapat ulama yang
benar.
Alangkah lebih baik kalau sekiranya mereka mengingkari penisbatan
kepada orang-orang yang tidak ma'shum tersebut. Adapun orang yang menisbatkan
diri kepada salafus shalih, sesungguhnya dia telah menisbatkan dirinya kepada
yang ma'shum (yakni Ijma' para shahabat secara umum). Nabi salallahu 'alaihi wa
sallam telah menyebutkan ciri-ciri Al-Firqah An-Najiyah (golongan yang selamat),
yaitu mereka yang senantiasa berpegang kepada sunnah Rasulullah salallahu
'alaihi wa sallam dan sunnah para Shahabatnya Ridhwanullah 'alaihim
'ajma'in.
Barangsiapa berpegang teguh kepada sunnah mereka, maka dia pasti akan mendapat petunjuk dari Rabbnya.
Penisbatan kepada salaf ini akan
memuliakan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada mereka dan akan
menuntunnya dalam menempuh jalan Al-Firqah An-Najiyah. Sedangkan orang yang
menisbatkan dirinya kepada selain mereka, tidaklah demikian keadaannya. Karena
dalam hal ini dia hanya mempunyai dua alternatif.
Kedua, dia menisbatkan
dirinya kepada orang-orang yang mengikuti madzab tersebut yang tentu saja tidak
ada kema'shuman sama sekali.
Sebaliknya para shahabat Nabi salallahu
'alaihi wa sallam secara keseluruhan merupakan orang-orang yang terpelihara dari
kesalahan. Dan kita telah diperintahkan untuk berpegang teguh kepada sunnahnya
salallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para shahabatnya. Hendaklah kita
senantiasa konsisten terhadap pemahaman Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan
manhaj (metode pemahaman) para shahabat. Agar kita tetap berada di dalam
"al-'ishmah" (terlindung dari kesesatan) dan tidak menyimpang dari manhaj
mereka, dengan memakai pemahaman sendiri yang sama sekali tidak didukung oleh
Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Kemudian, mengapa tidak cukup bagi kita dengan
hanya menisbatkan diri kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah saja, tanpa pemahaman
Salafus Shalih? Maka dalam hal ini ada dua sebab :
Kedua, sebab yang berhubungan dengan kenyataan yang ada pada kelompok-kelompok Islam.
Penjelasan.
1. Yang berhubungan dengan sebab pertama:
Kita temukan dalam nash-nash syar'iah,
perintah untuk mentaati segala sesuatu yang disandarkan kepada Al-Kitab dan
As-Sunnah sebagaimana firman Allah Ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri (ulama dan umara) di antara kamu.
Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah hal
itu kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah), bila kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya." (An-Nisa:59)
Seandainya ada seorang Waliyul Amri
(pemimpin kaum muslimin) yang telah dibaiat oleh kaum muslimin maka kita wajib
taat kepadanya, sebagaimana kita wajib taat kepada Al-Kitab dan As-Sunnah.
Meskipun dia dan para pengikutnya kadang-kadang berbuat salah. Kita wajib taat
kepadanya untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan karena perselisihan
tersebut, tetapi ketaatan itu harus dengan syarat yang sudah dikenal,
yaitu:
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah." (HR
Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits
no.197)
Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman : "Barang siapa menentang
Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalannya Sabilil
Mukminin (para shahabat), maka kami biarkan dia tenggelam dalam kesesatan
(berpalingnya dia dari kebenaran) dan kami masukkan ke neraka Jahannam. Dan itu
merupakan seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa':115)
Sungguh, Allah
Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Tinggi sehingga tidak mungkin Dia berkata
tanpa faedah dan hikmah. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa penyebutan
Sabilul Mukminin (jalannya orang-orang mukmin) dalam ayat ini mempunyai hikmah
dan faedah yang sangat tinggi.
Penyebutan ini menunjukkan bahwa di sana
ada suatu kewajiban yang sangat penting, yaitu : ittiba' kita terhadap Al-Qur'an
dan As-Sunnah harus sesuai dengan manhaj yang dipahami dan dijalankan oleh
generasi awal kaum muslimin, para shahabat ridhwanullah alaihim kemudian
generasi berikutnya (para tabi'in), kemudian generasi berikutnya (tabi'ut
tabi'in). Dan seruan inilah yang senantiasa dikumandangkan oleh Da'wah Salafiyah
sekaligus menjadi rujukan utama mereka, baik dalam asas dakwah maupun dalam
manhaj tarbiyah.
Sesungguhnya dakwah Salafiyah pada hakekatnya hendak
menyatukan umat Islam, sedangkan dakwah-dakwah yang lain justru sebaliknya
memecah-belah umat. Allah Ta'ala berfirman : "Dan hendaklah kamu bersama-sama
orang yang benar." (At-Taubah:119)
Maka barang siapa yang ingin
memisahkan Al-Kitab dan As-Sunnah di satu sisi dan para Salafus Shalih di sisi
lain, dengan memahami dan mengamalkan Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak sesuai
dengan pemahaman mereka, maka selamanya dia tidak akan menjadi orang yang shadiq
(benar).
2. Yang berhubungan dengan sebab kedua.
Kelompok-kelompok dan
partai yang ada pada zaman ini tidak mau beralih secara total kepada Sabilul
Mukminin yang tersebut pada ayat di atas, yang hal ini diperkuat oleh beberapa
hadits. Antara lain hadits "Iftiraqul Ummah" (perpecahan umat) menjadi 73 firqah
(golongan), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yang ciri-ciri mereka
telah disebutkan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam : "Golongan itu
ialah yang mengikuti sunnahku dan sunnah para shahabatku hari ini." (lihat :
Silsilah Al-Hadits Ash-Shohihah, Syaikh Al-Albani no 203 &
1192)
Hadits ini serupa dengan ayat di atas (QS. An-Nisa: 115), dimana
keduanya menyebutkan Sabilul Mukminin. Kemudian dalam hadits lain dari Irbadh
bin Sariyah, Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Wajib bagi
kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang
mendapat petunjuk sesudahku" (lihat: Irwa'ul Ghalil,Al-Albani no
2455)
Berdasarkan keterangan di atas, maka di sana ada sunnah yang harus
kita pegang teguh yaitu sunnah Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah
khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, kita wajib kembali kepada Al-Qur'an dan
As-Sunnah serta Sabilul Mukminin (jalannya para shahabat). Tidak boleh kita
mengatakan: "Kami memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman sendiri,
tanpa memandang sedikitpun pada pemahaman Salafus Sholih."
Pada zaman
sekarang ini, kita harus melakukan bara' (pemisahan diri) yang betul-betul bisa
membedakan diri kita dengan golongan sesat lainnya. Tidak cukup bagi kita hanya
dengan mengucapkan: "saya muslim" atau "madzhabku Islam", sebab
golongan-golongan yang sesatpun menyatakan demikian. Seperti kaum Syiah
Rafidhah, Ibadhiyyah, Qadiyaniyyiah (Ahmadiyah) maupun golongan-golongan sesat
lainnya. Sehingga apa bedanya kita dengan golongan sesat tersebut?
Bila
kita mengatakan : "Saya seorang muslim yang mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah."
Ucapan ini masih belum cukup karena kelompok-kelompok (sesat) seperti
Asy'ariyah, Maturudiyah, dan kaum Hizbiyah, mereka juga mengaku mengikuti
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa penamaan yang jelas
dan gamblang serta dapat membedakan antara golongan yang selamat dengan golongan
yang sesat ialah dengan mengatakan: "Saya seorang muslim yang mengikuti
Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj Salafus Shalih" atau lebih
singkatnya: "Saya salafi!"
Oleh sebab itu, sesungguhnya kebenaran yang tidak bisa disangsikan lagi ialah : tidak cukup kita hanya bersandar dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa tuntunan dari manhaj Salafus Shalih, baik dalam pemahaman dan pola pikir, dalam ilmu dan amal, maupun dalam dakwah dan jihad.
Kita semua mengetahui bahwa mereka semua (para Salafus Shalih ridhwanullah alaihim ajma'in) tidak fantaik terhadap satu madzhab atau kepada individu tertentu. Sehingga kita tidak pernah menemukan di antara mereka ada yang bersikap fanatik tergadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, ataupun Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhum.
Bahkan sebaliknya seorang diantara mereka jika memungkinkan untuk bertanya kepada Abu Bakar atau Umar atau Abu Hurairah, maka mereka akan bertanya kepadanya (tanpa memilih-milih). Semua itu mereka lakukan karena mereka meyakini bahwa tidak boleh seseorang memurnikan ittiba'nya kecuali kepada seorang yaitu Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam. Sebab beliau salallahu 'alaihi wa sallam tidaklah berkata menurut hawa nafsunya, melainkan hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Kalaupun kita bisa menerima bantahan orang-orang yang mengkritik pemahaman salafi, sehingga kita cukup hanya menamakan diri dengan istilah muslim saja, tanpa menisbatkan diri kepada Salafus Shalih meskipun penisbatan tersebut merupakan penisbatan yang mulia dan shahih. Lantas apakah dengan demikian orang-orang yang mengkiritik itu bersedia melepaskan diri dari penamaan terhadap kelompok-kelompok, madzhab-madzhab, thariqat-thariqat mereka meskipun penisbatan itu semua tidak syar'i dan tidak shahih?
"Cukuplah bagimu perbedaan diantara kita ini. Dan setiap bejana akan memancarkan air yang ada di dalamnya." Allahlah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan Dialah tempat meminta pertolongan.
(Edisi Perdana Salafy/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, hal 8-10)
Oleh sebab itu, sesungguhnya kebenaran yang tidak bisa disangsikan lagi ialah : tidak cukup kita hanya bersandar dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa tuntunan dari manhaj Salafus Shalih, baik dalam pemahaman dan pola pikir, dalam ilmu dan amal, maupun dalam dakwah dan jihad.
Kita semua mengetahui bahwa mereka semua (para Salafus Shalih ridhwanullah alaihim ajma'in) tidak fantaik terhadap satu madzhab atau kepada individu tertentu. Sehingga kita tidak pernah menemukan di antara mereka ada yang bersikap fanatik tergadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, ataupun Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhum.
Bahkan sebaliknya seorang diantara mereka jika memungkinkan untuk bertanya kepada Abu Bakar atau Umar atau Abu Hurairah, maka mereka akan bertanya kepadanya (tanpa memilih-milih). Semua itu mereka lakukan karena mereka meyakini bahwa tidak boleh seseorang memurnikan ittiba'nya kecuali kepada seorang yaitu Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam. Sebab beliau salallahu 'alaihi wa sallam tidaklah berkata menurut hawa nafsunya, melainkan hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Kalaupun kita bisa menerima bantahan orang-orang yang mengkritik pemahaman salafi, sehingga kita cukup hanya menamakan diri dengan istilah muslim saja, tanpa menisbatkan diri kepada Salafus Shalih meskipun penisbatan tersebut merupakan penisbatan yang mulia dan shahih. Lantas apakah dengan demikian orang-orang yang mengkiritik itu bersedia melepaskan diri dari penamaan terhadap kelompok-kelompok, madzhab-madzhab, thariqat-thariqat mereka meskipun penisbatan itu semua tidak syar'i dan tidak shahih?
"Cukuplah bagimu perbedaan diantara kita ini. Dan setiap bejana akan memancarkan air yang ada di dalamnya." Allahlah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Dan Dialah tempat meminta pertolongan.
(Edisi Perdana Salafy/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, hal 8-10)
0 komentar:
Post a Comment